Jumat, 14 April 2017

TUGAS ILMU BUDAYA DASAR 2 (INDIVIDU)


DOSEN : RAMITA HAPSARI
NAMA  : MUHAMMAD KHANSAPURI
NPM     : 14116976
KELAS : 1KA19



Sejuta Mimpi Hendra untuk Ibu

Gemuruh suara guntur di sore itu membuat keringat dingin membasahi sekujur  tubuh Hendra. Bocah lelaki berusia 8 tahun itu terlihat ketakutan dan hanya bisa bersembunyi di balik kursi kayu sebuah warung bakso, di sebrang Stasiun Kalibata, Jakarta.

Hujan yang cukup deras membuat bocah kelas 2 SD itu tak bisa menjajakan dagangannya berkeliling di seputar kawasan stasiun dan pusat perbelanjaan Kalibata, tempat ia mencari rezeki seusai pulang sekolah setiap hari.

Hendra bukanlah bocah yang beruntung karena ia terlahir dalam kondisi miskin. Ayahnya, pekerja serabutan meninggal dunia saat ia masih berusia 5 tahun. Sementara ibunya hanyalah seorang buruh cuci dengan penghasilan yang tak seberapa. Padahal, ibunya memiliki 4 orang anak dan Hendra merupakan anak sulung.

Tentu saja, bukan hal mudah bagi Hendra untuk menjalani kejamnya kehidupan sejak kecil. Dari mulai tempat tinggal yang kumuh dan tak layak, pakaian yang bisa dihitung dengan jari hingga makan tanpa lauk pun sudah ia rasakan. Terlebih ia masih memiliki 3 orang adik yang makin membuat beban tersendiri baginya.

Kalau saja bukan anak yang baik, tak mungkin bocah sekecil Hendra berpikir bagaimana caranya menghasilkan uang untuk membantu sang ibu. Meski miskin, beruntung Hendra mendapat didikan agama yang baik dari orang tuanya sejak kecil, sehingga dalam usia yang bisa disebut masa indah kanak-kanak itu, ia justru bisa berpikir untuk menjemput rezeki dengan berjualan tisue.

Hampir 2 jam, Hendra berteduh di warung bakso Mang Ipin, namun hujan belum reda juga. Hendra melirik setumpuk tisue yang masih berada dalam kantong plastik dagangannya. Sementara karena hujan deras, tak satu pun pengunjung yang datang ke warung bakso itu. Mungkin karena hujan yang terlalu deras, banyak orang meneduh di stasiun Kalibata. Biasanya, warung bakso lelaki tua berusia 50 tahunan itu silih berganti dikunjungi orang karena konon rasanya sangat lezat.

Di warung bakso Mang Ipin pula, kadang Hendra mendapat banyak pembeli tisuenya. Hendra menghitung tumpukan tisue di keranjang satu demi satu. "Masih 35, baru laku lima," Hendra bergumam. Padahal biasanya, ketika sore menjelang Magribh, ia bisa menjual sekitar 20-an tisue.

Hendra menjual tisuenya seharga 3000 rupiah sebuah. Ia mengambil untung 1500 rupiah. Dalam keseharian, ia kerap membawa 40-50 tisue untuk dijual. Meski tak selalu habis, minimal ia bisa mendapat keuntungan sekitar 50 ribu rupiah sehari. Belum lagi jika ada pembeli yang berbaik hati membayar dengan uang lima ribuan tanpa minta kembalian, menjadi rezeki tersendiri baginya.

"Ndra, makan bakso dulu nih. Abang bikinin gratis. Kamu pasti lapar kan?" Suara Mang Ipin mengejutkan Hendra yang masih termangu menatap dagangannya.

"Ya Mang Ipin, kemarin sudah gratis. Masa sekarang gratis lagi. Nanti Mang Ipin rugi," jawab Hendra yang sangat menyadari kebaikan hati pedagang bakso tersebut. Sebab, hampir sering ia makan bakso gratis di situ dan kadang membuatnya kerap tak enak hati.

Mang Ipin justru senang memberi Hendra bakso gratis karena anak sekecil itu sudah mengerti rasa malu jika kebiasaan diberi. "Buat Hendra mah, Mang Ipin nggak bakal rugi," katanya sambil menyerahkan semangkuk bakso pada Hendra.

"Makasih Mang Ipin, semoga hari ini banyak pembelinya," tutur Hendra sambil meraih semangkuk bakso kesayangannya itu dan beranjak dari posisinya, duduk di bangku kayu.

"Amiin. Rezeki mah nggak kemana Ndra," kata Mang Ipin lagi.

****
Hendra mulai menikmati semangkuk bakso sambil menunggu hujan reda. Sementara suara gemuruh guntur perlahan-lahan menghilang dan membuat hatinya lega.

Namun bukan Hendra namanya kalau tidak ingat pada adik-adiknya di rumah. Di warung ini, ia bisa menikmati semangkuk bakso seharga 15000 rupiah, sementara uang sebanyak itu jika dibelikan beras sudah cukup untuk makan mereka sehari.

Lima buah bakso bulat "gratis"berukuran sedang kadang hanya dimakan 2 buah saja oleh Hendra. Sisanya ia minta dibungkus plus ditambah kuah dan jika ada rezeki, ia membeli seporsi bakso lagi untuk ketiga adiknya di rumah.

Kali ini, Hendra merasa sangat lapar. Dia memutuskan memakan semua bakso "gratis" tersebut. Namun dalam hatinya dia bertekad besok ia harus menjual lebih banyak tisue agar bisa membelikan ketiga adiknya semangkuk bakso.

Saat sedang menikmati baksonya, tiba-tiba seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan dengan dandanan modis gaya kekinian masuk ke warung bakso Mang Ipin. Kalung dengan liontin bulat besar menghiasi leher wanita itu. Demikian pula dengan gelang di kiri kanan tangannya plus anting bulat besar yang dikenakannya membuat perhatian Hendra tertuju pada wanita itu.

"Mang Ipin, apa kabar? Saya kangen baksonya. Sudah lama tidak sempat mampir. Sekalinya mampir, hujan-hujan begini," tutur wanita itu.

"Ya ampun Bu Lala, ke mana saja? Sampai pang ling lihat penampilannya. Makin makmur aja. Silahkan duduk Bu," sambut wanita yang bernama Bu Lala itu.

Wanita itu pun langsung duduk persis di hadapan Hendra. Hendra mengamati dengan seksama penampilan wanita tersebut.

"Saya bungkus saja Mang Ipin, bungkusin 20 porsi ya. Kebetulan di rumah saya, anak-anak sedang kumpul," ujar Bu Lala.

Mang Ipin pun dengan sigap melayani pesanan Bu Lala tersebut. "Borong semua juga tidak apa-apa Bu Lala. Ngomong-ngomong, makin makmur saja Bu Lala," kata Mang Ipin sambil meracik bakso.

Sambil mengambil kipas dari dalam tasnya, Bu Lala berujar, "Alhamdulilah Mang Ipin, anak saya yang nomer tiga sekarang sudah diterima kerja di Bank Indonesia. Jadi tiap bulan banyak setoran."

"Dari dulu hidup saya susah Mang Ipin, membesarkan anak-anak susah payah. Bersyukur anak-anak saya merupakan anak-anak yang mengerti kondisi ibunya. Ketiga anak saya sekarang sudah mapan dan saatnya saya hidup senang," ujar Bu Lala lagi.

Mendengar percakapan Mang Ipin dan Bu Lala membuat Hendra lupa pada semangkuk bakso di hadapannya. Sontak Bu Lala pun menegurnya.

"Kamu kenapa bengong, Nak? Nanti baksomu dingin. Ayo dihabiskan dulu," tegur Bu Lala yang diam-diam memang memperhatikan Hendra dan setumpuk tisue dalam kantong plastiknya.

Hendra tersenyum dan kembali berkutat pada semangkuk baksonya. Namun Bu Lala kemudian mengambil 10 bungkus tisue dari kantong dagangan Hendra.

"Kamu habiskan baksonya dulu. Ibu ambil 10 tisue kamu ya. Nah, ini dua ratus ribu rupiah Ibu bayar," kata Bu Lala Lagi.

Hendra terperangah dan bingung. Meski demikian, ia terima saja dua lembar uang seratusan ribu rupiah dari Bu Lala. Hendra juga kemudian mengambilkan kantong plastik untuk 10 bungkus tisue yang dibeli Bu Lala.

"Maaf Bu, tapi uang ini terlalu banyak," ujar Hendra.

"Tidak apa-apa, Nak. Dulu anak-anak Ibu yang hidup dalam kemiskinan juga pernah jualan kayak kamu gini. Ibu ingin kamu jadi anak yang baik dan membantu orang tua kamu ya," ujar Bu Lala beralasan.

Mata Hendra pun berkaca-kaca, seolah ingin menumpahkan rasa harunya karena dia sebetulnya sangat ingin membahagiakan ibunya.

"Terima kasih banyak Bu. Semoga Ibu sehat selalu dan berkah selalu," kata Hendra.

Bu Lala pun membelai kepala Hendra sambil tersenyum. Dalam hati Bu Lala berdoa, semoga anak tersebut kelak menjadi orang yang sukses dan bisa mengangkat derajat orang tuanya.

"Bu Lala, sudah siap semua. Mau diantarkan ke mobil? Bu Lala parkir di mana?" Suara Mang Ipin memecah konsentrasi Bu Lala.

"Tidak usah Mang Ipin. Biar saya bawa sendiri. Hujan juga sudah mulai reda kok. Anak saya parkir di samping sini kok, dekat. Terima kasih banyak ya, sampai ketemu lagi," kata Bu Lala sambil menyelesaikan pembayaran baksonya.

Bu Lala pun bergegas keluar dari warung bakso Mang Ipin. Sementara Hendra perlahan-lahan mulai menghabiskan semangkuk baksonya yang sudah dingin.

****
Selepas kepergian Bu Lala, Mang Ipin bercerita bahwa wanita tua itu dulu adalah tetangganya. Hidup Bu Lala, sebut Mang Ipin, juga susah karena dia harus menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Sedangkan suaminya justru kabur bersama wanita lain.

"Tapi Bu Lala berhasil mendidik anak-anaknya jadi orang sukses. Dan Bu Lala meskipun sekarang penampilannya beda, dia tetap tidak berubah dan tidak sombong," cerita Mang Ipin.

Hendra manggut-manggut menyimak cerita Mang Ipin. Tiba-tiba di wajahnya terbayang wajah ibunya yang tampak lebih tua dari usia sebenarnya akibat tekanan hidup yang dialaminya.

Ia sangat mengerti bagaimana susahnya sang ibu mencari nafkah dan mengurusi keempat anak, termasuk dirinya.

Kemiskinan membuat ibunya tak bisa menikmati kebahagiaan hidup. Bagaimana bahagia? Untuk makan sehari-hari saja sulit, upah sebagai buruh cuci hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sementara untuk membayar kontrakan, kadang ibunya menawarkan tenaganya kepada para tetangga yang sedang hajatan untuk membantu masak dan sebagainya. Nyaris ibunya tak punya waktu luang kecuali saat tidur di malam hari. Karena setiap pagi, sebelum sang ibu harus memasak dan mengurus keempat anaknya dulu sebelum mencuci di beberapa rumah tetangga.

Bahkan ketika Hendra memutuskan untuk berjualan tisue kala itu, ibunya keberatan dan meminta Hendra fokus pada sekolah. Namun akhirnya ibunya mengizinkan Hendra berjualan sepulang sekolah setelah Hendra berhasil membuktikan pada ibunya bahwa ia mampu tetap berprestasi di sekolah sekalipun harus berjualan tisue. Hasil penjualan tisue, separuh diberikan kepada ibunya dan separuh lagi ditabung sendiri.

Dan Hendra teringat betul, saat pertama kali ia menyerahkan hasil penjualan tisue kepada ibunya, air mata sang ibu mengalir deras. "Ibu malu, Nak. Tidak seharusnya kamu melakukan ini. Maafkan Ibu ya," kata ibunya sambil memeluk Hendra.

Itulah mengapa Hendra ingin membuat ibunya bahagia. Dia ingin menjadi anak yang sukses kelak agar bisa melepaskan ibunya dari penderitaan ekonomi yang berkepanjangan.

Ia ingin sekali melihat ibunya memiliki baju-baju yang indah, tidur di rumah yang nyaman, punya waktu yang cukup untuk beristirahat dan bisa pergi ke mana pun yang ibunya inginkan.

Sosok Bu Lala semakin memotivasinya untuk lebih bekerja keras lagi, dan lebih rajin lagi berjualan tisue. Meski Hendra belum memiliki cita-cita ingin menjadi apa kelak, tapi satu hal cita-cita terindah dalam hidupnya adalah ingin membuat ibunya terlepas dari kemiskinan.

Semangkuk bakso sudah habis dilahapnya. Adzan Magribh sudah terdengar pula, Hendra segera pamit pada Mang Ipin. Ia masih punya waktu 2 jam lagi untuk menjajakan tisuenya setelah solat Magribh ini. Karena dalam kesehariannya, Hendra selalu pulang maksimal  jam 8 malam untuk menghabiskan dagangannya.

Hendra masih berusia 8 tahun, masih banyak hal positif yang bisa dia lakukan. Dengan mental yang dimilikinya, tentu Hendra akan menjadi seorang anak yang kuat. Semoga saja cita-citanya untuk membahagiakan ibunya kelak akan tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

What Will You Do Next 5 Years

In the next 5 years, it will be the time where I've graduated from my collage and gotten work with the knowledge that I've gained f...